Si Manis Legit: Keunikan Kue Rangi, Jajanan Khas Betawi yang Hampir Punah

Si Manis Legit: Keunikan Kue Rangi, Jajanan Khas Betawi yang Hampir Punah – Jakarta, sebagai ibu kota yang modern dan penuh gemerlap, menyimpan segudang kekayaan kuliner tradisional yang lahir dari warisan masyarakat Betawi. Salah satu di antaranya adalah kue rangi, jajanan manis yang kini mulai jarang ditemui, namun menyimpan cita rasa dan nilai budaya yang tak ternilai. Di tengah maraknya camilan kekinian seperti boba, croffle, dan roti modern, kue rangi hadir sebagai pengingat akan kesederhanaan masa lalu yang penuh makna.

Kue rangi dikenal juga dengan sebutan sagu rangi, karena bahan utamanya adalah tepung sagu. Kue ini memiliki tekstur khas — renyah di luar namun lembut dan kenyal di dalam. Biasanya disajikan dengan saus gula merah kental yang gurih dan manis legit, menciptakan perpaduan rasa yang sempurna di lidah.

Asal-usul kue rangi tak lepas dari kehidupan masyarakat Betawi tempo dulu yang kreatif mengolah bahan lokal sederhana menjadi makanan lezat. Kata “rangi” sendiri dipercaya berasal dari istilah Betawi yang menggambarkan sesuatu yang beraroma khas dan menggoda selera.

Konon, kue rangi sudah ada sejak zaman kolonial Belanda, dibuat oleh para ibu rumah tangga Betawi sebagai camilan sore atau teman minum teh. Bahannya yang murah dan mudah didapat membuatnya populer di kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah. Namun, karena pergeseran gaya hidup dan perubahan pola konsumsi masyarakat urban, jajanan ini perlahan mulai tergusur oleh makanan modern.

Filosofi kue rangi sebenarnya sederhana: keseimbangan antara rasa dan kesahajaan hidup. Dalam budaya Betawi, makanan bukan sekadar untuk mengenyangkan perut, melainkan juga wujud kebersamaan. Dahulu, kue rangi sering dibuat secara gotong royong di lingkungan kampung, terutama saat ada acara hajatan kecil. Wangi sagu yang dibakar di atas tungku menjadi aroma khas yang membangkitkan kenangan masa lalu.

Selain itu, proses pembuatan kue rangi yang sederhana mencerminkan karakter masyarakat Betawi yang jujur, terbuka, dan apa adanya. Tak perlu bahan mahal untuk menciptakan sesuatu yang nikmat — cukup dengan niat tulus dan sedikit kreativitas, lahirlah camilan yang memikat banyak orang.


Proses Pembuatan dan Keunikan Rasa Kue Rangi

Salah satu daya tarik utama dari kue rangi adalah cara pembuatannya yang unik dan tradisional. Meskipun tampak sederhana, proses ini membutuhkan ketelitian agar tekstur dan rasa yang dihasilkan sempurna. Bahan utamanya adalah tepung sagu, kelapa parut muda, dan sedikit garam, sedangkan untuk sausnya digunakan gula merah, air, dan potongan kecil nangka atau pisang sebagai pelengkap aroma.

1. Proses Pembuatan Adonan

Langkah pertama adalah mencampur tepung sagu dengan kelapa parut muda dan sedikit garam. Proporsinya harus seimbang agar hasilnya tidak terlalu keras atau terlalu lembek. Adonan tidak menggunakan air berlebihan, cukup lembap saja sehingga mudah dibentuk.

Adonan kemudian disebar tipis di atas cetakan khusus dari besi, mirip seperti cetakan serabi, lalu dipanggang di atas bara api. Cetakan inilah yang memberikan aroma khas smoky yang tak tergantikan.

2. Teknik Memanggang Tradisional

Kue rangi sejati dipanggang menggunakan bara arang, bukan kompor gas. Teknik ini memberikan cita rasa otentik dengan sedikit aroma gosong yang justru menambah kenikmatan. Lapisan bawah kue menjadi renyah sementara bagian atas tetap lembut dan kenyal.

Proses pemanggangan hanya membutuhkan waktu sekitar 3–5 menit, tergantung panas bara. Setelah matang, kue diangkat dan disajikan hangat dengan saus gula merah kental yang telah disiapkan sebelumnya.

3. Saus Gula Merah yang Khas

Saus gula merah menjadi penentu rasa utama kue rangi. Dibuat dari campuran gula merah, sedikit air, dan potongan buah nangka atau pisang kepok matang. Ada pula versi lain yang menambahkan daun pandan agar aromanya lebih harum. Saus dimasak hingga mengental seperti karamel, lalu disiramkan di atas kue rangi yang baru matang.

Ketika disantap, perpaduan tekstur dan rasa menciptakan sensasi unik: gurih kelapa, kenyal sagu, dan manis pekat gula merah menyatu harmonis di lidah. Tidak heran banyak orang menyebutnya sebagai “si manis legit Betawi”.

4. Keunikan Tekstur dan Cita Rasa

Kue rangi berbeda dari kebanyakan jajanan tradisional lainnya. Ia bukan hanya manis, tapi juga memiliki elemen gurih yang menyeimbangkan rasa. Perpaduan renyah, lembut, dan kenyal menjadikannya unik dan sulit tergantikan.

Setiap gigitan membawa rasa nostalgia — mengingatkan pada masa kecil, suasana kampung, dan kehangatan keluarga. Di sinilah nilai emosional kue rangi yang membuatnya lebih dari sekadar makanan; ia adalah simbol identitas dan kenangan kuliner Betawi.

Namun, keunikan itu pula yang membuatnya semakin sulit ditemukan. Tidak banyak generasi muda yang mampu atau tertarik membuatnya, karena prosesnya memerlukan kesabaran dan alat tradisional yang mulai langka.


Tantangan Pelestarian dan Upaya Menghidupkan Kembali Kue Rangi

Seiring berjalannya waktu, popularitas kue rangi semakin meredup. Banyak faktor yang menyebabkan hal ini, mulai dari modernisasi, minimnya regenerasi penjual, hingga perubahan selera masyarakat yang kini lebih memilih camilan praktis dan instan.

1. Menurunnya Jumlah Penjual Tradisional

Di masa lalu, kue rangi mudah dijumpai di pinggir jalan atau di depan sekolah-sekolah di Jakarta dan sekitarnya. Penjualnya biasanya menggunakan gerobak kecil dengan tungku arang di bagian tengah. Namun, kini hanya segelintir pedagang yang masih bertahan, sebagian besar di wilayah pinggiran seperti Depok, Tangerang, atau Bekasi.

Generasi muda jarang mau melanjutkan usaha ini karena dianggap tidak cukup menguntungkan. Selain itu, bahan bakar arang yang digunakan dianggap tidak praktis dan sulit diatur jika dibandingkan dengan kompor gas.

2. Perubahan Pola Konsumsi Masyarakat

Kehadiran makanan cepat saji dan jajanan modern membuat kue rangi kalah saing. Padahal, jika dilihat dari sisi kesehatan, kue rangi jauh lebih alami karena tidak mengandung bahan pengawet atau pewarna buatan.

Kue ini juga relatif rendah lemak dan gula, cocok untuk camilan sehat. Sayangnya, kesadaran masyarakat terhadap nilai kuliner tradisional masih rendah. Banyak orang lebih tertarik dengan tampilan menarik dan kemasan modern daripada cita rasa otentik.

3. Upaya Pelestarian oleh Komunitas dan Pemerintah

Meski menghadapi banyak tantangan, masih ada upaya pelestarian dari berbagai pihak. Beberapa komunitas pecinta kuliner Betawi mengadakan festival makanan tradisional untuk memperkenalkan kembali kue rangi kepada generasi muda.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata juga pernah mengadakan program revitalisasi kuliner Betawi, dengan tujuan menjadikan kue rangi sebagai bagian dari warisan budaya takbenda.

Selain itu, ada pula para pelaku UMKM yang mencoba mengemas ulang kue rangi dengan tampilan lebih modern. Misalnya, kue rangi mini dalam kemasan cup, atau kue rangi frozen yang bisa disimpan dan dipanaskan kembali. Inovasi ini diharapkan dapat menarik minat konsumen muda tanpa menghilangkan rasa aslinya.

4. Peluang Bisnis dan Edukasi Kuliner

Di sisi lain, kue rangi sebenarnya memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai produk kuliner khas Betawi dengan nilai ekonomi tinggi. Dengan branding yang tepat dan sentuhan inovasi, kue ini bisa menembus pasar yang lebih luas, bahkan hingga ke mancanegara.

Workshop kuliner tradisional yang mengajarkan cara membuat kue rangi bisa menjadi sarana edukasi dan pelestarian budaya. Sekolah-sekolah juga dapat memasukkan pembuatan jajanan tradisional seperti kue rangi dalam kegiatan ekstrakurikuler, agar generasi muda mengenal dan mencintai kuliner warisan leluhur mereka.

5. Revitalisasi Melalui Media Sosial

Media sosial kini menjadi alat penting dalam mempromosikan makanan tradisional. Banyak konten kreator kuliner mulai menyoroti keunikan kue rangi dan membagikan resepnya secara daring. Hal ini secara tidak langsung membantu membangkitkan kembali minat masyarakat terhadap jajanan lawas tersebut.

Dengan memanfaatkan platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube, kue rangi bisa dikenal kembali sebagai kuliner nostalgia yang cocok di era modern. Apalagi tampilannya yang unik — dengan saus gula merah yang menggoda — sangat fotogenik untuk konten visual.


Kesimpulan

Kue rangi bukan sekadar jajanan pasar, melainkan simbol kekayaan kuliner dan budaya Betawi yang sarat nilai sejarah. Di tengah derasnya arus globalisasi dan makanan modern, keberadaan kue rangi menjadi pengingat akan pentingnya menjaga identitas lokal.

Dengan bahan sederhana seperti tepung sagu, kelapa parut, dan gula merah, kue ini membuktikan bahwa cita rasa autentik tidak harus mahal. Setiap gigitan membawa cerita tentang masa lalu, tentang kebersamaan di kampung, dan tentang tangan-tangan ibu Betawi yang mencipta kelezatan dari kesahajaan.

Namun, tanpa upaya nyata untuk melestarikannya, kue rangi berisiko benar-benar punah dari meja makan masyarakat Jakarta. Karena itu, kolaborasi antara pemerintah, pelaku UMKM, komunitas kuliner, dan generasi muda menjadi sangat penting.

Kita bisa mulai dari hal sederhana: membeli dari pedagang kue tradisional, mempelajari cara membuatnya, atau sekadar membagikan kisah tentang kue rangi di media sosial. Dengan langkah-langkah kecil itu, kita turut menjaga agar si manis legit khas Betawi ini tetap hidup dan dikenal lintas generasi — sebagai warisan rasa yang tak lekang oleh waktu.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top